Jakarta, BisnisKita.id – Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah pandemi Covid-19 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada kuartal I-2020 sebesar 2,97% year-on-year (yoy). Pertumbuhan tersebut mengalami kontraksi 2,41% dibandingkan triwulan IV 2019. Namun, pertumbuhan yang digolongkan cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara di dunia yang terpapar Covid-19. Namun, pertumbuhan tersebut akan berbanding terbalik pada quartal mendatang, jika dilihat dari pandangan pengamat perekonomian. Perubahan ekonomi yang terjadi, tentu akan berpengaruh pada seluruh sektor, salah satunya sektor Perbankan Syariah.
Era new normal digadang-gadang menjadi salah satu solusi yang harus diambil dalam rangka penyelamatan perkonomian, tanpa terkecuali dunia syariah. Pembatalan ibadah haji, hingga pembatasan ibadah umrah, tentj saja menghantam keberadaan perbankan syariah. Untuk itu, perlu adanya ide-ide solutif dalam menjaga stabilitas ekonomi syariah.
Merunut pada sebuah pandangan, secara umum, tantangan bank syariah saat pandemi Covid-19 yakni likuiditas dan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing finanacing (NPF), bank syariah akan mulai tertekan pada Juli 2020 dan Agustus pada puncaknya.
Pada bulan tersebut bank syariah kehilangan pendapatan dari pembiayaan, bagi hasil karna nasabah memasuki periode gagal bayar bulan keempat dan kelima.
Akademisi dari Universitas Budi Luhur, Dr. Etty Susilowati menyampaikan, roda ekonomi harus berputar, walaupum di tengah kondisi Covid-19, karena bank sebagai lembaga keuangan menjadi intermediary antara pihak yang membutuhkan dana dan pihak yang kelebihan dana.
“Namun dari pada itu, kebijakan dalam menerapkan roda perekonomian, tentunya tidak melupakan prosedur kesehatan yang harus diutamakan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (11/6).
Lebih jauh, Dr. Etty memaparkan, strategi yang perlu dilakukan untuk menjaga kondusifitas perbankan syariah dengan dukungan dari industri dan relaksasi regulasi terkait perbankan syariah, misalnya, penurunan rasio GWM, insentif-insentif terhadap perbankan syariah.
“Penggunaan teknologi informasi, jemput bola nasabah, kerjasama dengan tenant dunia usaha perlu dilakukan dan ditingkatkan demi menjaga kondusifitas perbankan syariah di tengah pandemi Covid-19,” ungkapnya.
Selain itu, masih kata Dr. Etty, usaha-usaha terkait manufaktur, jasa, travel-travel haji dan umroh yang mengalami penurunan akibat Covid–19 yang berpengaruh pula pada kualitas pembiayaan dan pengendapan dana di bank syariah. “Ada rumus dalam mencapai suatu usaha inovasi yakni ATM = Amati, Tiru, Modifikasi perbangkan lainnya,” imbuhnya.
“Tentunya upaya dengan melakukan sinergi proyek dengan pemerintah baim dilakukan, agar proyek lebih feasible dan meyakinkan bank untuk memberikan support pendanaan terhadap pelaku usaha. Selain itu, pelaku usaha juga perlu melihat perilaku konsumen dan pasar. Apa yang menjadi kebutuhan saat ini,” tambahnya.
Dr. Etty juga mengingatkan, agar Perbankan Syariah perlu melihat kemungkinan-kemungkinan akan terjadinya NPF, likuiditas, profitabilitas, karena berakhirnya pendemi ini belum diketahui secara bersama.
“Perlu adanya regulasi baru dalam rangka menjaga stabilitas syariah, misalnya regulasi edukasi pengenalan syriah di sekolah-sekolah. Selain itu, penerapan profit sharing untuk produk investasi di bank syariah (termasuk deposito) juga perlu dilakukan,” pungkasnya.